Jakarta – Enam tahun berlalu sejak Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis bersalah kepada Silfester Matutina. Tapi hingga kini, Silfester belum juga dieksekusi. Padahal, putusan kasasi MA No. 279 K/PID/2019 telah inkrah dan menyatakan Silfester harus menjalani hukuman penjara selama 1,5 tahun. Lalu, kenapa dia belum masuk bui?
Pertanyaan ini bukan hanya jadi perbincangan publik, tapi juga memantik komentar dari tokoh hukum nasional, Mahfud MD. Mantan Menko Polhukam itu mempertanyakan apakah hukum di negeri ini bisa dikalahkan oleh “silaturahmi” atau hubungan personal.
“Apakah hukum bisa kalah oleh silaturahmi? Vonis sudah inkrah sejak 2019, tapi tak ada eksekusi. Ini mencederai keadilan,” kata Mahfud dalam pernyataannya baru-baru ini.
Hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari Kejaksaan mengenai alasan tidak dieksekusinya Silfester. Sejumlah kemungkinan pun mencuat. Mulai dari alasan prosedural, pengajuan grasi, hingga dugaan tarik-menarik kepentingan di belakang layar.
Berikut beberapa dugaan penyebabnya:
-
Proses hukum berbelit – Eksekusi vonis membutuhkan koordinasi antara kejaksaan, kepolisian, dan lapas. Tapi enam tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk urusan administrasi.
-
Permohonan grasi atau penangguhan – Ada dugaan terpidana atau kuasa hukumnya mengajukan permohonan grasi. Tapi, apakah itu bisa jadi alasan untuk menghindar selama bertahun-tahun?
-
Pengaruh kekuasaan? – Tidak sedikit yang menduga ada “campur tangan kekuasaan” dalam proses ini. Kabar bahwa Silfester memiliki kedekatan dengan tokoh elite, termasuk pernah dimaafkan Jusuf Kalla, makin menambah pertanyaan publik.
Namun, pengampunan pribadi—termasuk dari tokoh sekelas JK—tak bisa membatalkan keputusan hukum yang sudah berkekuatan tetap. Proses eksekusi seharusnya tetap dijalankan oleh Jaksa Agung.
Yang membuat publik makin geram, beredar kabar bahwa Silfester saat ini justru duduk di posisi nyaman dalam salah satu BUMN. Artinya, seorang terpidana justru mendapat tempat di perusahaan negara, dibiayai oleh uang rakyat lewat pajak.
“Kalau seorang Silfester saja bisa lolos dari jerat hukum, bagaimana dengan dedengkotnya? Yang bayar? Yang menyuruh?” kata seorang pengamat hukum yang enggan disebutkan namanya.
Kejaksaan Agung dan Kementerian BUMN didesak segera memberi penjelasan ke publik. Jangan sampai kepercayaan terhadap penegakan hukum makin runtuh hanya karena satu orang yang seolah kebal hukum.
Publik menunggu. Siapa yang berani menyentuh Silfester?

































