JAKARTA | Fenomena judi online (judol) yang marak dalam beberapa tahun terakhir membawa dampak serius bagi stabilitas institusi keluarga di Indonesia. Data terbaru menunjukkan adanya lonjakan signifikan kasus perceraian yang didorong oleh keterlibatan dalam judol, menandai krisis yang menggerus fondasi rumah tangga secara sistemik.
Berdasarkan statistik perkara perceraian nasional, jumlah perceraian yang terkait dengan judi online meningkat drastis dari 1.572 kasus pada tahun 2023 menjadi 2.889 kasus di tahun 2024—kenaikan sebesar 83,8 persen dalam setahun. Tren ini menunjukkan bahwa judol bukan hanya persoalan pribadi melainkan masalah sosial yang meluas dan membutuhkan penanganan serius.
Berbagai studi dan survei pada tahun 2024 mengungkap mekanisme kerusakan rumah tangga yang dipicu oleh judi online. Kebohongan yang berulang terkait masalah keuangan menjadi penyebab utama konflik yang terus memanas di dalam keluarga. Penelantaran tanggung jawab domestik oleh pelaku judol memperparah kondisi, memicu tensi psikologis yang membuat hubungan rumah tangga semakin rapuh. Tidak jarang, kondisi ini berujung pada perceraian, bahkan disertai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Data dari wilayah yang menjadi episentrum transaksi judol menambah gambaran gelap ini. Jakarta Barat tercatat sebagai daerah dengan nilai transaksi judol tertinggi mencapai Rp 792 miliar, diikuti Kota Bogor Rp 612 miliar dan Kabupaten Bogor Rp 567 miliar. Ketiga wilayah ini juga mencatat angka perceraian yang tinggi, di mana judi online menjadi faktor dominan penyebab keretakan rumah tangga.
Di Kota Bogor, misalnya, tercatat 496 kasus perceraian akibat suami kecanduan judi online yang kerap disertai jeratan pinjaman online (pinjol) dan tindakan KDRT. Di Surabaya, sebanyak 1.471 perkara perceraian pada 2024 didominasi oleh masalah judi dan pinjaman online, memperlihatkan pola serupa yang mengancam berbagai daerah di Indonesia.
Proporsi pemain judi online berdasarkan penghasilan juga mencerminkan masalah sosial yang pelik. Sebanyak 70,7 persen pemain berasal dari kelompok berpenghasilan rendah (Rp 0–10 juta per bulan), sementara kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi relatif lebih sedikit terlibat. Hal ini mengindikasikan bahwa judi online menjadi jebakan finansial yang paling memukul masyarakat rentan secara ekonomi.
Distribusi pemain judi berdasarkan usia juga menunjukkan bahwa mayoritas berada di rentang produktif, yakni 30–50 tahun (55,44 persen) dan 18–30 tahun (40,72 persen). Fakta ini menguatkan bahwa judi online tidak hanya merusak keluarga secara emosional, tapi juga merusak pilar ekonomi rumah tangga yang sangat penting dalam menopang kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Meningkatnya angka perceraian akibat judi online ini mengundang seruan keras dari berbagai pihak untuk menghentikan praktik judi online yang merusak tatanan sosial dan keluarga. Upaya penegakan hukum, edukasi publik, serta penyediaan layanan rehabilitasi dan konseling bagi korban dan pelaku menjadi kebutuhan mendesak untuk meredam dampak buruk judol.
Indonesia menghadapi ancaman nyata terhadap struktur keluarga dan kesejahteraan sosial jika tren ini terus berlanjut. Penguatan sinergi antara pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga sosial, dan masyarakat harus dilakukan segera demi menjaga keutuhan keluarga sebagai unit dasar bangsa.

































