Subulussalam, Aceh – Di balik rimbun perkebunan sawit PT Asdal di Kota Subulussalam, kisah getir anak-anak yang hidup dalam lingkar kemiskinan kembali menyeruak. Seorang pegawai perusahaan diduga melakukan pelecehan terhadap anak di bawah umur, peristiwa yang menyayat nurani sekaligus membuka luka lama tentang ketidakadilan sosial di kawasan ini. Mediasi antara terduga pelaku dan keluarga korban pada Selasa, 19 Agustus 2025, berakhir tanpa titik temu, meninggalkan amarah, trauma, dan tuntutan akan keadilan.
Peristiwa bermula pada 28 Juli 2025, ketika tiga anak tertangkap mengambil brondolan sawit yang oleh masyarakat sekitar dianggap sekadar limbah. Namun, apa yang seharusnya menjadi teguran sederhana berubah menjadi tragedi kemanusiaan. Berdasarkan keterangan korban dan saksi, anak-anak tersebut dipaksa merokok, disuruh berkelahi, hingga diminta menanggalkan pakaian mereka. Salah satu dari mereka, berinisial M, bahkan ditemukan pulang ke rumah tanpa busana. Jeritan ibunya yang histeris kala itu menggambarkan betapa dalam luka batin yang ditinggalkan, bukan hanya bagi keluarga, melainkan juga bagi masyarakat yang menyaksikan betapa rapuhnya perlindungan terhadap anak-anak di tengah lilitan kemiskinan.
Kasus ini memicu reaksi keras dari LSM Suara Putra Aceh (SPA). Anton Tinendung, perwakilan lembaga tersebut, mendesak Polres Subulussalam menindak tegas pelaku. Ia menegaskan perlunya keterlibatan Komnas HAM dan KPAI agar korban memperoleh perlindungan maksimal, mengingat perlakuan yang diterima mereka telah melewati batas kemanusiaan. SPA juga menyoroti kegagalan mediasi yang dilakukan di Polres Subulussalam, di mana pihak perusahaan disebut menolak mengakui dugaan pelecehan. Sikap itu menambah luka keluarga korban, sebab kesaksian anak-anak yang jelas-jelas menunjukkan adanya tindakan pelecehan justru dimentahkan oleh bantahan pengacara perusahaan.
Dari sisi hukum, kasus ini dapat dijerat dengan Qanun Jinayat Aceh maupun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Regulasi tersebut memberi landasan untuk menghukum pelaku dengan pidana penjara, denda, hingga hukuman cambuk. Unit PPA Polres Subulussalam telah berupaya mengkonfrontasi korban dengan terduga pelaku, namun prosesnya dinilai berjalan lamban, sementara trauma anak-anak semakin mendalam.
Di luar aspek hukum, peristiwa ini menyoroti tanggung jawab moral dan sosial PT Asdal. SPA mempertanyakan apakah pimpinan perusahaan mengetahui tindakan asisten kebun dan satpam yang diduga terlibat dalam pelecehan tersebut. Lebih jauh, lembaga ini mengingatkan publik pada berbagai persoalan lain yang membayangi perusahaan, mulai dari dugaan ketidakpatuhan terhadap kewajiban HGU, program plasma 20 persen bagi masyarakat, hingga transparansi dalam pembagian SHU dan laporan CSR. Ketiadaan akuntabilitas itu diyakini memperparah kondisi ekonomi masyarakat sekitar, membuat mereka tetap terjerat dalam kemiskinan yang tak kunjung berakhir. Dalam lingkaran inilah anak-anak tumbuh, rapuh, rentan, dan pada akhirnya menjadi korban eksploitasi serta kekerasan.
Tragedi ini menyimpan pesan mendesak: perlindungan terhadap anak-anak harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Komnas HAM, KPAI, dan pemerintah daerah dituntut untuk tidak berpaling dari suara jerit anak-anak Subulussalam. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku adalah jalan awal, namun lebih dari itu, dibutuhkan keberpihakan nyata pada kesejahteraan masyarakat miskin di sekitar perkebunan. Sebab tanpa itu, kisah-kisah pilu serupa hanya akan terulang, menjadi noda kemanusiaan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya (TIM).

































