Oleh : Musda Yusuf (Aktivis Anti Korupsi)
Di sejumlah desa, muncul wacana penggunaan Dana Desa untuk membangun atau mengelola website desa. Sepintas, ide ini terlihat modern seperti website bisa menjadi media transparansi, promosi potensi desa, hingga pusat informasi publik. Namun, jika dicermati dari sisi regulasi, justru penggunaan Dana Desa untuk website berpotensi melanggar aturan hukum.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Dana Desa berasal dari APBN dan diprioritaskan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pembinaan kemasyarakatan. Aturan lebih rinci ditegaskan dalam Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, di mana belanja Dana Desa hanya boleh dilakukan untuk kebutuhan yang tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) dan masuk dalam prioritas penggunaan yang ditetapkan pemerintah.
Sementara itu, setiap tahun Permendesa PDTT menetapkan prioritas penggunaan Dana Desa. Untuk tahun 2022, 2023, hingga 2024, dan 2025 Dana Desa diarahkan pada tiga hal utama yakni pemulihan ekonomi nasional, program prioritas nasional (seperti pencegahan stunting), serta mitigasi dan penanganan bencana. Jelas tidak ada alokasi untuk pembuatan website desa.
Kalau kepala desa menggunakan Dana Desa untuk membuat website, itu masuk kategori belanja yang tidak sesuai aturan. Risiko hukumnya jelas, mulai dari sanksi administrasi hingga jeratan UU Tipikor bila menimbulkan kerugian negara.
Larangan ini juga sejalan dengan Pasal 26 ayat (4) huruf c UU Desa, yang menegaskan bahwa kepala desa dilarang menyalahgunakan wewenang dan jabatan. Dana Desa sendiri wajib dikelola secara transparan, akuntabel, partisipatif, serta tertib dan disiplin anggaran sesuai amanat Pasal 28 UU Desa.
Jika dipaksakan, penggunaan Dana Desa untuk website bukan hanya melanggar regulasi, tapi juga berpotensi menjadi pintu masuk praktik “mark-up” anggaran. Sebab, biaya pembuatan website kerap tidak jelas standarnya, rawan dimainkan oleh pihak ketiga, bahkan bisa dijadikan proyek fiktif.
Padahal, kebutuhan digitalisasi desa tetap bisa diwujudkan. Pemerintah desa dapat memanfaatkan Alokasi Dana Desa (ADD) dari kabupaten, bantuan keuangan provinsi, atau memanfaatkan skema kerja sama dengan komunitas IT lokal yang lebih murah dan transparan.
Dengan demikian, wacana website desa memang baik, tetapi bukan dengan memaksakan menggunakan Dana Desa. Jika kepala desa tetap nekat, maka bersiaplah menghadapi konsekuensi hukum yang bisa mencoreng nama baik pemerintahan desa itu sendiri.
Di banyak gampong di Aceh, wacana membangun website desa mulai muncul. Alasannya mulia, untuk transparansi, promosi potensi, dan melayani publik. Namun, setiap kali Dana Desa disebut sebagai sumber pembiayaan, di situlah jebakan berbahaya itu dimulai.
Sejarah penyalahgunaan Dana Desa di Aceh mengajarkan banyak hal. Tahun 2024, LSM MaTA mencatat 16 kasus korupsi Dana Desa dengan kerugian negara mencapai Rp56,8 miliar. Polanya berulang, anggaran dipakai untuk kegiatan yang tidak relevan, pelaksanaan fiktif, atau sekadar alat manuver elit lokal.
Kita masih ingat kasus di Ranto Panyang Barat, Aceh Barat, di mana Rp500 juta Dana Desa tak bisa dipertanggungjawabkan. Di Aceh Timur, seorang kepala desa harus mendekam 5,5 tahun penjara karena menyelewengkan Rp727 juta. Bahkan di Aceh Tamiang, perangkat desa ikut terseret karena pengeluaran fiktif senilai Rp628 juta. Semua bermula dari satu hal penggunaan Dana Desa yang keluar jalur, mengabaikan prioritas yang sudah diatur undang-undang.
Lalu bayangkan jika Dana Desa dipakai untuk membangun website desa. Tidak ada regulasi yang melegalkannya. Tidak ada standar biaya yang bisa dijadikan acuan. Inilah celah empuk bagi modus lama, mark-up, pengadaan fiktif, atau proyek pencitraan yang hanya hidup sebentar di dunia maya, lalu mati, sementara anggaran sudah raib.
Kita patut belajar dari deretan kasus korupsi Dana Desa di Aceh, pola penyelewengan selalu bermula dari rasa “merasa bisa” menggunakan anggaran di luar prioritas. Hari ini bicara website, besok bisa studi banding, lusa bisa proyek fiktif. Pada akhirnya, masyarakat desa yang dirugikan, sementara aparat desa bisa berakhir di ruang sidang Tipikor.
Jadi, pertanyaannya sederhana apakah website desa benar-benar kebutuhan mendesak rakyat, atau hanya proyek gaya-gayaan yang membuka pintu baru korupsi? Jika jawabannya yang kedua, maka Dana Desa seharusnya tak boleh disentuh sama sekali.

































