Gayo Lues — Di gedung DPRK Gayo Lues, uang mengalir tenang seperti air di bawah lantai marmer. Tak ada yang ribut, tak ada yang merasa bersalah, tapi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan riak yang menguarkan bau tak sedap: tunjangan komunikasi intensif (TKI) pimpinan dan anggota dewan dibayar berlebih, totalnya mencapai tujuh ratus lima puluh delapan juta lima ratus dua puluh ribu rupiah.
APBK dua ribu dua puluh empat mencatat belanja pegawai daerah ini tembus dua ratus lima puluh sembilan miliar tiga ratus sepuluh juta rupiah. Angka itu direalisasikan utuh—persis sama—seolah sebuah keajaiban administrasi. Dari ratusan miliar tersebut, TKI menjadi salah satu porsi yang dinikmati para wakil rakyat. Sekretariat DPRK menetapkan nilainya seratus tujuh juta seratus ribu rupiah per orang per tahun, sebuah angka yang di mata BPK lahir dari perhitungan Komponen Kebutuhan Dasar (KKD) yang menyimpang dari aturan.
Penyimpangan itu bukan sekadar salah hitung. Ini soal mengakali mekanisme yang semestinya menjaga agar tunjangan tak melampaui kemampuan keuangan daerah. Dalam infografik AJNN, nama-nama anggota DPRK—disamarkan menjadi HAMS, H, M, S—tercatat menerima TKI penuh. Selisih pembayaran di tabel? Nol. Semua terlihat steril. Tapi BPK tak tertipu: angka nol itu hanyalah hasil dari formula yang sejak awal sudah dipelintir.
Metodenya sederhana: jika patokan KKD dibikin melenceng, seluruh perhitungan berikutnya otomatis aman di atas kertas. Tidak ada “kelebihan” secara formal, tapi uang lebih tetap berpindah dari kas daerah ke rekening pribadi. Begitulah caranya mengubah aturan menjadi karpet merah bagi kebocoran.
Uang tujuh ratus lima puluh delapan juta lima ratus dua puluh ribu rupiah itu, di daerah kecil seperti Gayo Lues, bukan jumlah yang bisa diabaikan. Ia cukup untuk membiayai perbaikan puluhan ruang kelas, membangun jembatan kecil, atau menghidupi program kesehatan gratis selama berbulan-bulan. Tapi semua itu kandas di meja dewan—diubah menjadi hak istimewa yang mereka bungkus dengan kata “tunjangan”.
BPK telah mengunci temuannya. Pertanyaan besarnya: apakah uang itu akan dikembalikan, ataukah akan menguap di tengah tradisi “selesai di meja musyawarah”? Apakah ada keberanian dari eksekutif dan penegak hukum untuk mengusut, atau mereka justru ikut berbaris rapi di belakang pagar gedung dewan?
Sejarah anggaran daerah sudah berkali-kali membuktikan: kebocoran tidak selalu meledak besar. Ia bisa bermula dari satu baris angka di dokumen APBK, diselipkan, dipoles, lalu diloloskan tanpa debat. Dan di Gayo Lues, tujuh ratus lima puluh delapan juta itu adalah contoh telanjang bagaimana aturan bisa dirombak demi melayani kantong sendiri, bukan rakyat yang diwakili. (TIM)

































