Gayo Lues — Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh terhadap belanja pegawai di lingkungan DPRK Gayo Lues tahun anggaran 2024 menemukan kelebihan pembayaran sebesar Rp 198,24 juta. Temuan ini berasal dari dua pos utama yang dikelola oleh Sekretariat DPRK, yaitu tunjangan reses dan dana operasional pimpinan DPRK, yang direalisasikan jauh melebihi batas anggaran yang seharusnya.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) bernomor 04.B/LHP/XVIII.BNA/06/2025, BPK mencatat bahwa total realisasi belanja pegawai mencapai Rp 290,32 miliar dari total anggaran Rp 297,11 miliar. Meski secara keseluruhan realisasi masih berada di bawah anggaran, dua komponen tersebut menunjukkan ketidaksesuaian serius yang menimbulkan potensi kerugian negara.
Tunjangan reses yang semestinya hanya sebesar Rp 184,8 juta justru terealisasi Rp 289,2 juta, selisih Rp 104,4 juta atau 56,5 persen lebih tinggi dari pagu anggaran. Dana operasional pimpinan DPRK mengalami hal serupa. Anggaran awal Rp 180 juta dibayarkan Rp 284,4 juta, sehingga kelebihan juga mencapai Rp 104,4 juta. Dengan demikian, total kelebihan pembayaran mencapai Rp 198,24 juta, terdiri dari Rp 114,24 juta untuk tunjangan reses dan Rp 84 juta untuk dana operasional.
BPK menyatakan akar permasalahan ada pada perhitungan Klasifikasi Kemampuan Daerah (KKD) yang digunakan sebagai dasar penentuan besaran tunjangan dan dana operasional. Kabupaten Gayo Lues masuk kategori daerah dengan kemampuan rendah, sehingga besaran tunjangan dan dana operasional seharusnya lebih kecil. Namun, perhitungan yang disusun oleh TAPK (Tim Anggaran Pemerintah Kabupaten) tidak sesuai ketentuan. Sekretaris DPRK, selaku Pengguna Anggaran, kemudian mengusulkan dan merealisasikan belanja tersebut tanpa mengacu pada klasifikasi yang sah.
Temuan BPK menegaskan adanya pelanggaran administratif yang bisa berdampak pada pengelolaan keuangan daerah. Dalam rekomendasinya, BPK meminta Bupati Gayo Lues memerintahkan TAPK untuk menyusun ulang perhitungan KKD sesuai ketentuan, dan Sekretaris DPRK menyesuaikan usulan serta realisasi belanja agar sesuai dengan klasifikasi kemampuan daerah. Lebih penting lagi, seluruh kelebihan pembayaran harus dikembalikan ke Kas Daerah, sebagai langkah untuk mencegah kerugian publik yang lebih besar.
Kasus ini memunculkan pertanyaan serius mengenai mekanisme pengawasan internal DPRK dan eksekutif. Apakah kelebihan pembayaran ini murni akibat kelalaian teknis, atau bagian dari pola pembiaran yang telah berlangsung selama beberapa tahun? Dalam konteks daerah dengan kemampuan fiskal rendah, pembengkakan tunjangan dan dana operasional bukan hanya masalah administratif, tetapi juga menyangkut etika dan akuntabilitas publik.
Para pengamat menyebut bahwa ketidaksesuaian anggaran seperti ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi legislatif dan eksekutif. Dana publik yang seharusnya dimanfaatkan untuk pelayanan masyarakat justru dialokasikan tanpa dasar yang jelas. Kelebihan pembayaran yang terjadi di Gayo Lues menjadi alarm bagi penguatan sistem pengendalian internal, transparansi anggaran, dan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku, agar pengelolaan keuangan daerah lebih akuntabel dan bertanggung jawab.
Sumber resmi atas temuan ini tercatat dalam LHP BPK RI Perwakilan Aceh Tahun 2024, yang dipublikasikan pada 13 Agustus 2025 oleh AJNN.net, lengkap dengan analisis grafis oleh Mobaru yang menyoroti pembengkakan belanja tunjangan reses dan dana operasional DPRK. (*)

































