Gayo Lues – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan sejumlah kejanggalan dalam mekanisme penyewaan alat berat di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Gayo Lues. Berdasarkan hasil pemeriksaan BPK terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) 2024, proses sewa alat berat di instansi tersebut dilaksanakan tanpa perjanjian resmi dan tarif sewa yang dikenakan tidak sesuai dengan Qanun yang berlaku.
Dalam laporan pemeriksaan, BPK mencatat dua jenis alat berat yang disewa Dinas PUPR. Pertama, Excavator Komatsu PC.210 yang menelan biaya sewa sebesar Rp 41.640.000. Berdasarkan Qanun, tarif sewa alat ini seharusnya Rp 1.000.000 per hari, namun dalam praktiknya, SK Kepala Dinas PUPR menetapkan tarif Rp 2.000.000 per hari, atau dua kali lipat dari ketentuan resmi. Kedua, Motor Grader Komatsu GD.511 yang disewa dengan biaya Rp 25.000.000, padahal tarif sesuai Qanun seharusnya Rp 1.000.000 per hari. SK Kepala Dinas PUPR menetapkan tarif Rp 2.500.000 per hari untuk alat ini, meningkat lebih dari dua kali lipat dari tarif standar.
BPK menegaskan bahwa temuan ini diperkuat melalui wawancara dengan pihak terkait serta pemeriksaan dokumen administrasi. Dalam dokumen yang diperiksa, tidak ditemukan perjanjian tertulis yang sah sebagai dasar pembayaran sewa. Tidak adanya dokumen pendukung tersebut menunjukkan bahwa kesepakatan resmi antara pihak penyewa dan Dinas PUPR belum terwujud, sehingga pembayaran dilakukan tanpa dasar hukum yang jelas.
Menurut BPK, praktik penyewaan alat berat tanpa perjanjian resmi berpotensi menimbulkan sejumlah risiko. Pemerintah daerah berpotensi kehilangan pendapatan yang seharusnya diterima dari tarif sewa yang sah. Selain itu, tarif sewa yang tidak terkendali berpotensi terlalu tinggi, sehingga membebani anggaran daerah dan membuka celah bagi penyalahgunaan aset. Risiko ini diperkuat oleh lemahnya pengawasan terhadap penggunaan alat berat tersebut.
BPK juga menyoroti beberapa faktor penyebab permasalahan ini. Tidak adanya koordinasi yang baik antara Kepala Dinas PUPR dengan pihak BPK menjadi salah satu pemicu. Selain itu, tidak dibuatnya perjanjian sewa secara tertulis serta kurangnya pengawasan dari Kepala Dinas PUPR dan Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian turut memperparah situasi.
BPK mendorong pemerintah daerah segera menertibkan mekanisme penyewaan alat berat. Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain menyusun perjanjian resmi untuk setiap penyewaan alat, menyesuaikan tarif sewa dengan ketentuan Qanun, serta meningkatkan pengawasan penggunaan alat. Dengan demikian, potensi kerugian keuangan daerah dapat diminimalkan, sementara penggunaan alat berat tetap transparan dan akuntabel.
Temuan BPK ini menjadi peringatan bagi seluruh jajaran pemerintah daerah untuk lebih berhati-hati dan patuh terhadap aturan yang berlaku dalam pengelolaan APBK. Masyarakat pun diharapkan terus memantau kinerja pemerintah agar dana publik dikelola secara tepat dan bertanggung jawab, serta agar aset daerah digunakan secara efisien dan efektif. (*)

































