BATAM — Setelah lebih dari sebulan penyelidikan intensif, Polresta Barelang akhirnya menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam tragedi ledakan kapal Federal II yang menewaskan lima pekerja di galangan kapal PT ASL Shipyard, Tanjunguncang, Batam. Kedua tersangka berinisial A dan F diketahui menjabat sebagai Safety Officer, peran kunci yang semestinya menjadi garda terdepan dalam menjamin keselamatan kerja.
“Penetapan ini tidak tergesa. Kami sudah memeriksa 24 saksi dari berbagai pihak, termasuk dari perusahaan induk dan subkontraktor. Bukti di lapangan menguatkan dugaan bahwa kelalaianlah yang menyebabkan insiden ini,” ujar Kapolresta Barelang, Kombes Pol Zaenal Arifin dalam konferensi pers, Selasa (5/8/2025).
Pernyataan Zaenal itu menyiratkan fakta pahit: dua petugas keselamatan justru lalai menjalankan tanggung jawabnya. Menurut hasil olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang dilakukan Tim Inafis Mabes Polri serta hasil gelar perkara, ditemukan pelanggaran fatal terhadap standar operasional prosedur (SOP) dalam pengerjaan kapal.
Dalam penjelasan resmi kepolisian, disebutkan bahwa tersangka A dan F meloloskan proses pekerjaan tanpa melalui tahapan keselamatan standar. Padahal, dalam industri perkapalan, pengecekan terhadap keberadaan gas mudah terbakar dalam tangki serta penggunaan peralatan kerja berisiko tinggi seperti las dan pemotong logam harus disertai prosedur ketat.
“Ada tahapan penting yang dilewatkan. Ini bukan kesalahan teknis semata, tetapi pelanggaran terhadap prinsip dasar keselamatan kerja. Kelalaian ini merenggut lima nyawa pekerja yang sedang mencari nafkah,” tegas Zaenal.
Kedua tersangka saat ini telah ditahan, dan penyidik masih membuka peluang adanya tersangka tambahan dari pihak perusahaan maupun subkontraktor yang terkait langsung dengan pelaksanaan pekerjaan di kapal Federal II.
Tragedi pada Selasa, 24 Juni 2025 itu, terjadi saat sejumlah pekerja melakukan pekerjaan pengelasan di dalam tangki kapal. Ledakan besar disusul kebakaran hebat membuat lima orang tewas di tempat. Mereka adalah Gunawan Sinulingga (46), warga Kibing, Batu Aji; Janu Arius Silaban (24), warga Tapanuli Tengah; Berkat Setiawan Gulo (22), warga Tapanuli Tengah; Upik Abdul Wahid (32); dan Hermansyah Putra (30), warga Tanjung Uban Utara, Bintan.
Para korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit Mutiara Aini sebelum kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk keperluan autopsi. Berdasarkan pemeriksaan medis, kelima korban diduga meninggal akibat keracunan asap saat tangki kapal terbakar. Luka bakar yang mereka alami tergolong ringan, memperkuat dugaan bahwa kematian disebabkan oleh inhalasi gas beracun, bukan api.
Sementara itu, lima pekerja lainnya yang turut menjadi korban selamat masih menjalani perawatan di rumah sakit, empat di antaranya dalam kondisi luka berat: Upik Hidayat, Amel Rivensky Gembiran Nababan, Benni Silaban, dan Rezki Harianto Butarbutar. Seorang lainnya, Atalas Silaban, berada dalam kondisi stabil.
Insiden ini tidak hanya membuka luka bagi keluarga korban, tetapi juga memunculkan pertanyaan serius tentang lemahnya pengawasan keselamatan di industri galangan kapal. PT ASL Shipyard sebagai perusahaan pemilik lokasi, serta PT Manchar Marine Batam (MMB) dan PT Ocean Pulse Solution (OPS) sebagai subkontraktor, kini berada dalam sorotan publik.
“Ini bukan semata soal dua orang yang lalai. Ini mencerminkan sistem yang bolong. Apakah inspeksi keselamatan dilakukan secara rutin? Siapa yang mengawasi pelaksanaannya?” ujar seorang pemerhati ketenagakerjaan di Batam yang enggan disebutkan namanya.
Dalam investigasi awal, diketahui bahwa pada hari kejadian tidak ada gas detector aktif di dalam tangki, padahal pekerjaan pengelasan sedang berlangsung. Tidak ada surat izin kerja panas (hot work permit) yang lengkap, dan pemantauan terhadap kadar oksigen serta gas mudah terbakar tidak dilakukan.
Pihak kepolisian memastikan proses penyidikan akan terus berjalan untuk memastikan seluruh pihak yang bertanggung jawab mendapat ganjaran hukum setimpal. Kombes Zaenal Arifin mengatakan pihaknya terbuka terhadap audit keselamatan secara menyeluruh.
Di sisi lain, keluarga korban mendesak keadilan dan kompensasi layak. Sebagian dari mereka adalah tulang punggung keluarga, dan kini meninggalkan anak-anak yang masih kecil.
“Kami tidak ingin kematian ini dianggap sekadar angka statistik. Anak saya mati karena orang lalai. Kami minta pertanggungjawaban penuh, bukan hanya dari dua orang itu,” kata Rehata Gulo, ayah salah satu korban, dengan suara bergetar.
Sementara itu, pihak PT ASL Shipyard belum mengeluarkan pernyataan resmi. Upaya konfirmasi dari media kepada manajemen perusahaan belum mendapatkan tanggapan.
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa dalam dunia kerja, terutama di sektor dengan risiko tinggi seperti industri maritim, keselamatan bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah soal hidup dan mati. Dan saat nyawa hilang karena kelalaian, hukum tak boleh diam. (*)

































