GAYO LUES | Awal 2024, Rp12 miliar dana fiskal tambahan dari pemerintah pusat turun ke Kabupaten Gayo Lues. Janjinya terdengar bak musik penghibur di telinga rakyat: jalan akan diperbaiki, layanan kesehatan ditingkatkan, sekolah-sekolah dipoles agar lebih layak. Warga sempat percaya, dana sebesar itu bisa menjadi jawaban bagi defisit anggaran daerah sekaligus mengangkat derajat pelayanan publik.
Namun delapan bulan berselang, harapan itu berubah jadi kekecewaan. Jalan Pining–Lesten tetap dipenuhi lubang, bangku sekolah di pedalaman masih patah-patah, dan puskesmas mengaku sering kehabisan obat. “Kami hanya dengar dana masuk, tapi hasilnya tak pernah terasa,” ujar seorang tokoh masyarakat Blangkejeren dengan nada getir.
Laporan realisasi anggaran semester pertama 2024 justru membuka sisi lain. Dari total Rp12 miliar, sekitar Rp4,5 miliar habis untuk belanja pegawai, rapat koordinasi, hingga perjalanan dinas. Dinas Pendidikan menggunakan tambahan Rp1,2 miliar untuk membeli alat tulis dan kegiatan sosialisasi. Dinas Kesehatan menghabiskan Rp800 juta untuk seminar kader posyandu. Dilansir dari TRIBRATA TV, laporan itu membuat publik semakin curiga: dana yang seharusnya menetes ke rakyat, diduga justru lebih banyak digelontorkan untuk kebutuhan birokrasi.
Pemerintah daerah berkilah semua penggunaan sesuai aturan. Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) menyebut dana fiskal fleksibel, bisa dipakai menutup defisit maupun membiayai kegiatan strategis. Tetapi tafsir “strategis” versi pemerintah tak sama dengan tafsir masyarakat. Bagi rakyat, yang strategis adalah jalan mulus, sekolah layak, dan puskesmas yang punya obat.
Catatan lama kini kembali menghantui. Pada 2022, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi teguran keras atas penggunaan dana transfer pusat di Gayo Lues yang sarat proyek fiktif, markup, hingga laporan ganda. Kritik itu jarang berujung pada perubahan nyata. Pola lama diduga kembali berulang: uang mengalir deras, tapi hasilnya nihil.
Kecurigaan publik makin menguat. Ormas Laskar Anti Korupsi (LAKI) Gayo Lues menuding ada penyimpangan serius. “Kami mendesak audit menyeluruh. Kalau dibiarkan, dana pusat akan terus jadi bancakan pejabat,” kata Ketua LAKI, Hendra, Senin (1/9/2025). DPRK pun terseret sorotan. Minimnya pengawasan membuat alokasi dana lebih sering disetujui tanpa kajian detail. “Kami kerap hanya diberi angka-angka di atas kertas,” ungkap seorang legislator oposisi.
Tak berhenti di situ, suara publik kini mengarah lebih keras: APH diminta turun tangan, bahkan KPK didesak mengusut dugaan penyimpangan dana Rp12 miliar tersebut. “Kami ingin ada langkah hukum tegas. Jangan hanya audit di atas kertas. Kalau ada bukti penyalahgunaan, harus diproses pidana,” tegas seorang aktivis antikorupsi di Blangkejeren.
Audit menyeluruh kini menjadi satu-satunya harapan publik. Tanpa transparansi dan penindakan hukum, Rp12 miliar itu diduga bisa hilang begitu saja di balik tumpukan laporan birokrasi. Sementara di lapangan, kenyataan tetap pahit: jalan rusak, pasien antre berjam-jam di rumah sakit, anak-anak belajar di kursi plastik reyot.
Di Gayo Lues, uang negara seolah menjelma pesta birokrat. Rakyat cuma jadi penonton lapar, menelan janji yang tak pernah jadi kenyataan. (TIM)

































